MAKNA SULUK/TAREKAT DAN WUSHUL/MARIFAT DALAM ISLAM Oleh : M. Ilham Hidayatullah A. PENDAHULUAN Dalam dunia modern seperti saat sekarang ini tidak sedikit kita temukan orang-orang yang sters dengan keadaan dan segala tuntutan hidup mereka masing-masing. Namun, adapula sebagian di antara masyarakat modern saat ini yang mulai haus akan ketenangan dan keteduhan bathindengan memasuki dunia sufi atau tasawuf. Bagi seorang sufi yang menggeluti dunia tasawuf pastinya mengetahui dengan jelas tentang “suluk” suluk adalah jalan, yaitu jalan unuk lebih dekat dengan Allah swt dan akan sampai nantinya “wushul” yaitu orang yang samapi mengenal/tahu kepada Allahmaksudnya mengenal/merasakan bukan karena riwayat atau mendengar dari cerita orang, namun karena menjalani dan menumukan sendiri. Bedasarkan uraian di atas pemakalah menyajikan beberapa rumusan masalah yaitu : pertama , apa yang di maksud dengan suluk dalam islam ?, kedua , apa yang di maksud dengan wushul/marifat dalam islam ?.
Secara etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingga husnul-suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan".1
Secara garis besar suluk merupakan kegiatan seseorang untuk menuju kedekatan diri kepada Allah, suluk hampir sama dengan tarekat, yakni cara mendekakan diri kepada Tuhan. Hanya saja, kalau tarekat masih bersifat konseptual, sedangkan suluk sudah dalam bentuk teknis oprasional2 Oprasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar teori melainkan langsung dipraktikkan dalam tingkah laku keseharian, kata suluk berasal dari ungkapan terminologi dalam al-Qur’an yakni Fasluki dalam surat An-Nahl (16) Ayat 69.3 yang artinya : Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dan dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, yang mana di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. ”
Kata Fasluki disini adalah kata perintah (Amr) dari Allah Swt untuk selalu berjalan di jalan-Nya jalan yang lurus.
Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.4
Di dalam kunci memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber yang hakiki. Hal ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan penghambaannya kepada Allah.5
Khan Sahib Kahja Khan (pakar bidang tasawuf dari India) mangatakan bahwa salik ialah orang yang tengah menempuh perjalan rohani (suluk).6
Cigril Glasse dalam Ensiklopedi Islam, yang dimaksud suluk adalah keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan menuju kepada Allah.7
Menurut Imam al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlaq, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal bathin. Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya untuk persiapan wushul kepada-Nya.8
Gufron A. Mas'adi dalam Ensiklopedi Islam, mengatakan: suluk merupakan keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Tuhan.
Istilah ini juga menunjukkan pada sebuah quasi magis dan sebuah ucapan spiritualis yang bercorak lokal Indonesia dikenal sebagai upacara suluk. Dalam upacara ini pelakunya berusaha mencapai kekuatan psikis atau magis dengan mempertahankan diri dari serangan dunia spirit selama satu malam, yang mana seseorang dimatikan secara simbolik.9
Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat madzmumah atau buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir dan bathin).10
Phase-phase yang harus ditempuh ke arah mencapai hakikat suluk adalah:
a. Marhalah Amal Lahir yaitu melakukan amal ibadah yang bersifat lahir atau nyata.
b. Marhalah Amal Bathin atau muroqobah (mendekatkan diri kepada Allah) dengan jalan membersihkan diri dari maksiat lahir dan batin.
c. Marhalah Riyadlah atau melatih diri dan mujahadah atau mendorong diri untuk selau berusaha lebih dekat dengan Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 69: "Dan mereka yang mujahadah atau bersungguh-sungguh mencari Allah, sungguh kami (Allah) akan menunjukkan jalan tarekat kepada kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan.11
Maksud mujahadah ini adalah melakukan jihad lahir untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga mustahiq memperoleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesarannya.12
2. Macam-Macam Suluk
Secara umum suluk dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Suluk Ibadah, Suluk Riyadah dan Suluk Mujahadah.
a. Suluk Dalam Bentuk Ibadah.
Bentuk dari suluk ini adalah dengan melakukan aktifitas ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, seperti berwudlu, shalat dan puasa, kemudian melakukan kesunahan-kesunahan lain, begitu juga dzikir dan wirid.
Jalan yang ditempuh dalam suluk semacam ini mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian menurut anggapan shufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu sama, ada yang lekas mencapainya, ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dalam beribadah itu belum berubah yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah dan kegemaran dalam ibadah lahir itu.13
b. Suluk Dalam Bentuk Riyadah.
Suluk Riyadlah ini adalah pelajaran akhlak untuk melatih diri agar jiwa ini selalu dekat dengan Allah seperti yang diperintah dalam Islam.
Begitu juga hal-hal lainnya yang berkaitan dengan suluk dalam bentuk riyadah semua sifat-sifat baik (akhlaqul karimah) dijadikan perbuatan dan amalan sehari-hari, supanya perbuatannya bisa terhindar dari sifat-sifat madzmumah.
c. Suluk Mujahadah
Suluk yang ketiga ini adalah untuk latihan hidup menderita. Salah satu usaha shufi untuk menormalisir kepribadian ini ialah berkelana dalam daerah-daerah yang belum dikenalnya, adapun bentuk amalan suluk mujahadah yang dimaksud adalah seperti:
1) Membantu orang yang membutuhkan di derah-derah yang di datangi.
2) Melakukan perjalan ke tempat yang sama sekali yang belum pernah di datanginya seperti naik turun ke gunung dan jurang, masuk hutan.
Sedang tujuannya adalah untuk:
1) Merubah akhlaq yang kikir menjadi orang yang dermawan.
2) Menambah akhlaq menjadi penyayang terhadap sesama.
3) Merubah akhlaq menjadi peka terhadap keadaan .
Di dalam buku Tasawuf Dari Shufisme Klasik ke Neo-Shufisme penulis A. Rivay Siregar menambahkan dalam ragam suluk yaitu:
a. Suluk Penderitaan, yakni suluk yang dijalani melalui berbagai rintangan dan kesulitan yang menuntut keuletan dan keberanian, kesabaran dan ketabahan.
Suluk model ini biasanya dijalani melalui pengembaraan atau berkelana keberbagai kawasan. Suluk penderitaan ini tidak mesti ragawi, tetapi juga bisa dilaksanakan melalui pengembaraan dan penjelajahanspiritual. Tujuannya lebih terfokus pada pembacaan kepribadian yang merdeka, mandiri dan percanya diri. Hal ini menandakan jiwa kita sudah bebas dari belenggu-belenggu kedunawian yang membuat diri kita tidak bebas.
b. Suluk Pengabdian, dalam hal ini pengabdian pada sesama, yaitu suluk yang bersifat humanistik, bersifat satria yang bertujuan tumbuh suburnya rasa solidaritas dan cinta sesama makhluk Tuhan.14
Semua itu dalam rangka untuk membentuk kepribadian yang mencerminkan akhlakul karimah. Jadi orang yang bersuluk adalah orang yang menginginkan kedekatan dengan Allah. Melalui berbagai cara riyadloh dohir maupaun bathin.
3. Bentuk-Bentuk Suluk
Bersuluk adalah melakukan berbagi laku yang tujuannya untuk mendekakan diri kepada Allah seperti berikut ini:
a. ‘Uzlah
‘Uzlah secara epistimologis berasal dari kata ‘azala, ya’zilu, azlan yang artinya menjauhkan diri atau memisahkan dari masyarakat.15 Dalam istilah tasawuf uzlah berarti mengasingkan atau memisahkan diri dari masyarakat, terutama yang di dalamnya terdapat banyak terjadi maksiat dan kejahatan, karena (masyarakat yang demikian) dianggap dapat mengganggu dzikir kepada Allah bahkan lebih dari itu dapat menyeret pada kejahatan dan kehancuran pribadi.16
Imam al-Gazali menegaskan bahwa uzlah adalah jalan memusatkan diri untuk beribadah, bertafakur, dan menjalankan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT sekaligus untuk menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia ciptaan Tuhan baik dengan urusan duniawi maupun ukhrawi, alam langit dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh panca indra. Hal demikian tidak akan tercapai tanpa mengasingkan diri atau uzlah dari kesibukan dan pergaulan sehari-hari dengan orang lain.17
Ada yang mengatakan bawa amalan uzlah adalah amalan yang paling baik atau pilihan yang paling tepat, hal ini sesuai hadist yang di riwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudzri: “Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudzri, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan bertanya, siapa manusia yang paling utama ya Rasulullah? Rasululah menjawab: Ia adalah orang yang berjihad dengan diri dan harta bendanya di jalan Allah, kemudian seseorang tadi bertanya, kemaudian siapa ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ia adalah orang yang pergi beruzlah naik turun gunung dengan selalu beribadah kepada Tuhannya.18
Hadist di atas menggambarkan betapa mulianya orang yang beruzlah, riyadlah pergi dari rumah untuk beribadah kepada Allah, yaitu untuk mendapatkan ketenangan dan kejernihan jiwa.
Orang harus melakuan pengasingan diri, sehingga ia untuk beberapa lama tidak terlibat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan begitu diharapakan dia akan mampu merenung tentang diri dan masyarakatnya secara jujur, karena tidak mungkin memahami suatu masalah secara benar jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu.
Keterlibatan kita tentu akan mempengaruhi pandangan dan penilaian, sehingga terjadi kekeliruan. Sebab pada umumnya seseorang memandang sesuatu hanya sesuai dengan keinginannya sendiri.19
Seperti halnya Rasulullah pada masa itu sering pergi (memutuskan interaksi dengan mayarakat sesaat) ke gua Hira’ untuk mencari pencerahan atas probelmatika sosial saat itu.
Syekh Abu Bakar al-Waraq berkata: ketika dunia sudah dilanda fitnah, masyarakatnya sudah mengalami dekandensi moral, agama sudah ditinggal-kan maka orang yang paling dekat dengan keselamatan adalah orang yang beruzlah, meninggalkan kerumunan orang yang penuh maksiat.20
Uzlah menjadi suatu keharusan bagi seorang salik yangutama jika zaman sudah rusak, yang dimaksud zaman rusak adalah: ketika kondisi sosial sudah banyak mengalami kerusakan, kerusakan moral agama, banyaknya orang-orang bodoh, manusia sudah tidak menepati janji dan sering terjadi huru-hara dan pembunuhan. Di dalam sebuah hadist di terangkan bahwa, “Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari, yang di dalamnya diturunkan banyak orang bodoh, dan dia ngkatnya ilmu, dan banyaknya al-harju, sahabat bertanya, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan al-harju? Rasulullah menjawab: (al-harju adalah) pembunuhan”.21
Yang kedua, khawatir melakuan ha-hal yang diharamkan,22 jadi sebetulnya uzlah adalah fase di mana seorang salik menyendiri untuk mencari sebuah kebenaran, inspirasi, tafakur, perenungan dan menghindar dari kerusakan.
Manfaat uzlah menurut Imam Al-Gazali meliputi dua hal, yakni manfaat keagamaan dan manfaat keduniawian. Diantara manfaat keagamaan adalah dimungkinkannya seseorang lebih dapat melakukan ketaatan-ketaatan agama secara lebih serius dan intensif seperi rajin beribadah, bertafakur, dan juga menghindari larangan-larangan agama seperti munculnya sifat riya’, gibah, dengki serta terseret pada pergaulan-pergaulan buruk lainnya.
Adapun manfaat-manfaat yang bersifat keduniawian, seperti lebih berkonsentarsi dalam berkerja, terhidar dari pertikaian, peperangan, konflik yang berkepanjangan dan lain sebagainnya.23
Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, membagi ‘uzlah dalam tiga kategori:
Pertama, manusia yang ‘uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya adalah kondisi manusia-manusia muttaqin dan telah mencapai keparipurnaan.
Kedua, manusia yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumanyan baik, namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong arus Rahmat Allah dalam kondisinya.
Dan ketiga, ‘uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka yang disebut dengan al-Mutakhalli atau Takhalli. Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki tahalli (berias dengan akhlak mulia), dilanjutkan dengan tajalli (menjadi manifestasi cahaya Ilahi).
Kategori manusia yang ‘uzlah lahir dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:
1) Orang yang ‘uzlah agar dirinya bisa selamat,
2) Orang yang ‘uzlah karena ingin meraih sesuatu, dan
3) Orang yang ‘uzlah untuk mendapatkan kenikmatan.24
Uzlah dipandang dari sifatnya dibagi dua macam yaitu:
1) Uzlah bathin adalah kondisi bathin yang selalu berusaha, riyadlah, pergi, meninggalkan kesenangan duniawi selalu mendekatkan diri kepada Allah walaupun masih tinggal dan hidup bersama masyarakat.
2) Uzlah dzahir ialah uzlah yang membawa seganap jiwa dan raga bukan yang bersifat simbolik, melainkan bersifat dzahir, (riyadlah bersifat fisik) semisal pergi kegunung-gunung, hutan, berjalan menjadi musafir untuk bertafakur, beribadah kepada Allah supaya mendapatkan rindla -Nya.25
Untuk beruzlah sebenarnya butuh satu niat yaitu bertekad untuk menjadi lebih baik, dan beristiqamah di jalan Allah, karena uzlah akan sia-sia mana kala niat dan tekatnya kurang kuat. Hal ini yang diperlukan adalah riyadlah atau latihan ruhani.
b. Khalwat
Khalwat,26 jama’nya khalawat secara etimologi adalah tempat yang sunyi, atau tersembunyi,27 sedangakan menurut terminologi tasawuf khalwat dilihat secara dzohir dan batin. Khalwat zahir ialah apabila seseorang mengambil keputusan untuk memisahkan dirinya daripada dunia, memencilkan dirinya di dalam satu ruangan yang terpisah daripada orang ramai supaya manusia dan makhluk di dalam dunia selamat daripada kelakuan dan kewujudannya yang tidak diingini. Dia juga berharap pengasingan itu akan mendidik egonya.28
Dalam Ensiklopedi Islam, khalwat di artikan menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak, selama beberapa waku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.29
Ibrahim Baisyni mengatakan bahwa khalawat merupakan salah satu bentuk riyadhah yang paling efektif dan dicintai oleh para shufi, karena dengan khalwat akan dapat memfokuskan arah jiwa shufi dan ia akan menjadi cermat serta menyiapkan diri untuk memperoleh kesucian dan pencerahan jiwa,30 dan sifatnya juga untuk menyembunyikan amal, karena dengan menyembunyikan amal bisa terhidar dari sifat takabur, dan riya’, para shufi lebih mengutamakan kerahasiaan amal dari pada amalnya diketahui oleh banyak orang. Karena khalwat dimaksudkan untuk belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk selalu ingat kepada Allah Ta’ala.31
Imam al-Gazali berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhamad saw yang pernah melakukan khalwat di gua Hira’ sebelum menerima wahyu.32 Khalwat juga menjadi sifatnya orang-orang shufi.33
Jadi khalwat adalah salah satu cara bagaimana salik bisa lebih dekat dengan Khaliqnya melalui penyendirian. Hati yang berkhalwat bisa saja dalam keadaan bersama masyrakat karena khalwat bisa secara bathin yaitu keadaan hati yang selalu menyendiri dari pengaruh duniawi dan disibukkan bersama Ilahi.
c. Zuhud
1) Makna Zuhud
Secara etimologis zuhud[34] berarti “raghaba’an syai’in wa tara kahu” yang artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. “Zahada Fi al dun-ya” berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud dinamakan zahid, zuhad atau zahidun. Zahidin jamaknya Zuhdan, artinya kecil atau sedikit. Dan zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia, dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal.
Dengan jalan berpuasa dan kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yaitu ridla bertemu dan ma’rifat Allah SWT.35
Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia. Rasulullah pernah bersaba tentang zuhud sebagai berikut:[36] “Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu di cinta Allah, zuhudlah terhadap apa yang dimiliki ma nusia niscaya kamu akan di cintai oleh mereka.”
Dalam pandangan kaum shufi bahwa dunia dan segala kehidupan materi dan isinya adalah merupakan sumber kemaksiatan, kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan, menyebabkan kejahatan dan dosa. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai ghayah (tujuan akhir) dalam hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu, maka seorang shufi dituntut untuk terlebih dahulu meninggalkan atau memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan ruhani dari ha-hal yang bersifat duniawi.
Dengan demikian segala apa yang dilakukan dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan,37 sehingga dunia tidak berpengaruh dalam kehidupan, tidak menjadikan susah maupun senang, karena kesusahan menerutnya adalah ketika jiwa kita jauh dengan Tuhan dan kesenangan sejati adalah ketika dekat dengan-Nya. Karena susah dan senang dalam dunia bersifat sementara, sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nisa’, 4: 77: “…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.38
Akan tetapi zuhud tidak berarti sama sekali meniggalkan kehidupan dunia dan semata-mata mengurus kehidupan akhirat saja,39 zuhud adalah bagai mana cara seseorang memandang dunia.
2) Tanda-Tanda Zuhud
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan.40
Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah SWT.
Biasanya sikap zuhud di tunjukkan dengan jalan mengasingkan hati dengan menjalankan serangkaian ibadah, seperti: shalat, puasa, dzikir maupun bentuk ritual badan yang lain.41
3) Tingkatan-Tingkatan Zuhud
Adapun tingkatan-tingkatan zuhud ada tiga macam yaitu:42
a) Mutazahiddin, adalah orang-orang yang berusaha zuhud dan berusaha atau bermujahadah untuk memalingkan hatinya dari dunia.
b) Zahid ya’riffu fi Zuhdihi adalah orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan isinya karena Allah, akan tetapi masih terbesit sesuatu yang hilang (masih merasakan kehilangan).
c) Zuhdi fi Zuhdi adalah orang-orang yang zuhud yang sudah tidak merasakan kezuhudannya sebagai hal yang istimewa melainkan sebagai hal yang biasa.
Jadi kezuhudan tidak bisa kita lihat dengan sedikitnya harta benda, pangkat, jabatan atau embel-embel keduniawian yang lain, melainkan pengalaman psikis manusia berkaitan dengan bagaimana ia memandang materi dunia ini.
d. Tawakal
Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.89 Allah SWT berfirman: “…Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya …” (QS: Ath Tholaq: 2-3)43
Secara harfiah tawakal berasal dari kata wakala 44 yang artinya menyerahkan, mempercayakan, atau mewakili urusan kepada orang lain. Tawakal adalah menyerahkan dan berserah diri sepenuhnya atas segala perkara dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT. Tawakal merupakan ciri orang yang beriman.
Tawakal bukan berarti bersifat pasif melainkan aktif, artinya adalah seseorang bertawakal harus disertai dengan usaha terlebih dahulu, mewujud-kan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah.
Tawakal yang menjadi ciri mukmin sejati bukanlah tawakal dalam arti kemalasan yang menyebabkan tidak mau berusaha, karena tawakal diperintahkan untuk manusia agar manusia bisa merasa tenang dalam setiap usaha dan perilakunya.
Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam bukunya Minhajul-Muslimin menyatakan bahwa tawakal yang merupakan bagian langsung dari iman dan aqidahnya ialah taat kepada Allah dengan menghadirkan semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang hendak dia kerjakan,45 dengan demikian menjadikan hidup bukan hanya mengandai-andai, tidak bermalas-malasan karena dunia ini ada hukum sebab akibat, maka manusia harus berikhtiar untuk mencukupi kebutuhannya di dunia. Disamping itu juga ikhtiar adalah tanda bahwa kita mensyukuri nikmta-Nya.
Imam al-Gazali mengatakan bahwa maqam tawakal terdiri dari tiga unsur Ilmu, hal dan amalan, maksudnya adalah: hal merupakan tawakal dalam dirinya sedangkan Ilmu adalah dasar dari tawakal, amal merupkan buwahnya.46
Seorang shufi berkata: Tawakal adalah merupakan hal yang rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang pada hakikatnya meninggal-kan usaha yang bukan karena Allah, mereka merasa selalu bersama Allah dimanapun berada.47 Seperti halnya Sahl bin Abdullah ketika ditanya tentang tawakal, ia menjelaskan “Qalbu yang hidup bersama Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain”.48
Ketawakalan orang berbeda-bedada, tergantung kadar keimanan yang dimiliki sebagai bekal dalam berusaha dan bertindak, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, bahwa tawakal mempunyai tiga tingkatan pertama: Tawakal: maksudnya adalah orang yang bertawakal akan merasa tentram dengan janji-Nya. Kedua: Taslim: adalah orang yang merasa cukup dengan pengetahuan-Nya. Ketiga: Tafwidh: adalah orang yang merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya. Seperti digambarkan dalam perilaku makan tanpa tamak.49
Amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tawakal adalah antara usaha dan keyakinan, keyakinan bahwa yang dikerjakan maupun yang diusahakan akan mendapatkan pertolongan dan bimbingan dari Allah SWT yang menjadikan hati tenang dan tentram. Jadi tawakal adalah sikap dalam mengarungi samudra kehidupan kerena hati dan tindakannya selalu seimbang dan selaras dengan nilai-nilai keimanan.
e. Sabar
Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah shabara, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi shabran. Atau Secara etimolgi sabar berasal dari kata shabara-yasbiru-shabran yang artinya tabah hati berani (atas sesuatu)50 sabar adalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan yang diperintahan oleh Allah SWT. Menguatkan makna seperti ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keada annya itu melewati batas.” (QS.Al-Kahfi: 28)51
Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keinginan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabbnya serta selalu mengharap keridla an-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.52
Serta dalam berbagai keadaan yang sulit, berat, mencemaskan, susah, senang dan bahagia. Sabar juga bermakana ketabahan dalam menerima sesuatu kepahitan dan kesulitan,53 atau dalam keadaan berbahagia atau berduka baik secara jasmani maupun ruhani. Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nahl: 127: “Bersabarlah, dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah SWT 54
Kesabaran adalah perasaan menerima semua anugrah dari Allah dengan perasaan bahagia, karena kesabaransesungguhnya tanpa batas tergatung sebarapa jauh, atau seberapa kuat kualitasnya diri kita dalam bersabar. Allah juga menjadikan sabar sebagai jalan untuk meminta pertolongan sesuai dengan firman-Nya: “Dan mintalah pertolngan dengan Sabar…” (QS. Al- Baqarah: 45)55 Allah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan sabar sebagai jalan untuk memohon pertolongan dalam memecahkan problem kehidupan.56 Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam bersabar menjadikan ketenangan dalam bathin yang membuat kita berfikir lebih jernih sehingga orang sabar mampu mengatasi berbagai problem kehidupan yang ada.
Dalam buku 30 petunjuk Islam menangani setres dikatakan bahwa sabar ada dua macam dan mempunyai pengertian yang berbeda: pertama sabar yang berarti tenang, tabah dan dengan penuh kerelaan hati menghadapi berbagai macam cobaan. Kedua, mushabarah yang berarti menghadapi lawan di dalam memperebutkan sesuatu yang memerlukan ketabahan dan keteguhan.57
Di dalam Risalah al-Qusyairiyah membagi sabar dalam beberapa macam: sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tidak di upayakan. Mengenai sabar dengan upaya terbagi menjadi dua: sabar dalam menjalankan printah-Nya dan sabar dalam menjauhkan larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalani ketentuan-ketentuan-Nya yang menimbulkan kesukaran baginya.58
Kesabaran tidak terikat oleh tempat dan waku, kesabaran dalam berbagai keadan bagi seorang salik adalah sebuah keharusan sehingga mampu memahami diri yang bisa mendekatkan epada Allah.
Kesabaran bukanlah hanya masalah bagaimana menata hati dalam menghadapi kehidupan akan tetapi dituntut juga bagaimana merealisasikan kesabaran kita dalam langkah yang kongkrit. Bukti bahwa kita mampu bersabar adalah ketika kita tidak mengeluh dengan apa yang datang dalam kehidupan kita bahkan sebaliknya kita akan merasa semangat dalam melihat hidup ini, karena dalam hati orang yang sabar dipenuhi ketenangan yaitu ketenangan bersama Allah, keluh kesah, beban hidup dipasrahkan kepada-Nya. Sebagai mana firman-Nya: “…Bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)59 Jadi Allahlah teman sejati bagi orang yang bersabar. Karena Allah sangat menyayangi orang-orang yang berserah diri dan bersabar.
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa bertasawuf dan bersuluk adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ibarat satu koin mata uang, satu sisi menguatkan sisi yang lain, orang yang mengaku bertasawuf sudah pasti bersuluk, karena makna dari tasawuf adalah bersuluk secara hakiki.
Orang yang bersuluk tidak bisa dibatasi bagaimana amal, usaha atau lakunya, garis besarnya ialah tergantung pada niatan awal yaitu selalu ingin dekat dan ingin mendapat rindla dari Allah. Jadi seperti teori–teori yang digambarkan diatas mulai dari uzlah, khalwat, zuhud, tawakal, sabar adalah sebagian kecil dari bertasawuf, dan salah satu laku seorang salik, yang menginginkan kebersamaan bersama Allah SWT. Allah Maha Agung, Maha Luas Karunianya, segala sumber makluk yang tampak maupun yang tidak tampak, dzohir maupun batin di segala penjuru terdapat wajah-Nya. Maka untuk mendekati-Nya pun tergantung seorang shufi, akan tetapi teori-tori yang dituturkan di atas dibatasi agar pembahasannya tidak terlau melebar dan hanya berkutat pada masalah uzlah, khalwat, zuhud, tawakal dan sabar karena menyesuaikan dengan tema yang di angkat.
Maka bagi seseorang yang ingin menempuh jalan kepada llahi ber-tasawuf dan bersuluk berjanlah dengan kebeningan hati, hati yang bening menerima cahanya jalan yang bersal dari Allah, Allah memuliakan orang yang memuliakan dengan jalan-Nya. Allah berfirman: “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir: 10)60
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 292
2 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Kalsik ke Neo-Sufisme, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 281
3 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 523
4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
5 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf: Khasanah Istilah Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 268
6 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
7 Cgril Glasse, Ensiklopedi Islam, Terj. Gufron A. Mas'adi, cet.3, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 376
8 Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994.21
9 Cgril Glasse, op. cit., hlm. 376
10 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1979, hlm.251
11 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 787
12 Ibid., hlm.18
13 Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992, hlm.122
14 A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 282
15 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, Pustaka Progresif, Surabaya, 1999, hlm. 495
16 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 972
17 Masharuddin, Pembrontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007, hlm. 178
18 Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, Minahus Saninyyah ‘ala Wasiyah al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 11
19 Nurcholis Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, cet. 2, 1995, hlm. 192
20 Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, op. cit., hlm. 11
21 Lih. Al-Khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, jilid 2, t. th, hlm. 1345
22 Lihat dalam kitab Turast yang dikarang oleh Syeh Nawawi bin Umar diterangkan bahwa Uzlah adalah hal yang sangat mulia ketika zaman sudah rusak, dan sekarang ini adalah waktu yang paling utama untuk beruzlah. Syekh Nawawi bin Umar, Qami’ Tugyan ‘Ala Manzdumati Syu’bul Iman, hlml. 9-10
23 Masharuddin, op. cit., hlm. 180
24 http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=73
25 Kedua istilah uzlah ini hanya digunakan penulis untuk memudahkan pengertian bahwa ibadah atau suluk uzlah bukan berarti hanya bersifat dzohir (lahir) melainkan ada juga yang bersifat bathin tanpa riyadloh dzohir, selain itu juga untuk menghindari perdebatan dikalangan ulama’ berkaitan boleh tidaknya beruzlah.
26 Pada dasarnya khalwat dengan uzlah adalah sama yaitu meniadakan atau pemutusan hubungan dengan masyarakat untuk bermunajat, bertafakur kepada Allah, akan tetapi perbedannya adalah khalwat bersifat lebih sederhana yaitu menyendiri di tempat yang sepi (misalanya sendiri di dalam kamar dan berdzikir kepada Allah) sedangkan uzlah lebih membutukan tindakan yang lebih extrim (misalnya meninggalkan rumah pergi ke perbukitan atau pegunungan yang belum pernah dilewati), ada juga yang mengatakan bahwa sifatnya uzlah adalah khalwat, uzlah adalah pemutusan hubungan dengan masyrakat kalau sudah memutuskan hubungan dengan masyarakat secara otomatis kondisinya menjadi sendiri dan menyendiri. Lihat Ibid, Pembrontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun Tasawuf, hlm. 178. Lihat juga dalam kitab turast karangan Saidi Abdul Wahab as-Sya’rani, Minhus Saninyyah ‘ala Wasiyah al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 9
27 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, op. cit., hlm. 175
28 http://tamansufi.tripod.com/asrar23.html
29 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm.36
30 Masharuddin, op. cit., hlm. 178
31 Abubakar Aceh, op. cit., hlm. 332
32Dewan Redaksi, op. cit., hlm.36
33 Abd. Al-Karim ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 18
34 Trem zuhud dalam Kamus Indonesai Arab al-Bisri diartikan sebagai ketiadaan perhatian. Jadi ketika kita zuhud terhadap sesuatu menjadikan kita tidak memperhatikan terhadap sesuatu itu. Lih. Ibid, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, hlm. 301 dan juga dalam ayat dalam al-Qur’an yang menyiratkan tentang kezuhudan teraktup dalam surat al-Hasr: ayat 9. Zuhud sering di sebut asketisme adalah maqamat yang kedua setelah taubah yang memiliki makna sebagai sikap menjauhkan diri dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi. Lihat. Buku Tasawuf yang ditulis oleh H. Asep. dkk. PSW UIN Jakarta, 2005, hlm. 115
35 Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen, Pustaka Pelajar. Jakarta: 1997
36 Al-khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini op. cit., hlm. 1373-1374
37 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 35
38 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 169
39 Djamaluddin Ahmad Al-Buny, op. cit., hlm. 103
40 http://www.dakwatuna.com/2007/zuhud/
41 Asep Usmar Ismail, Wiwi St. Sajarah dan Surarin, op. cit., hlm. 115
42 Lih. Ibnu Rajab al-Hambali, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalihin, Ibid., hlm. 77
43 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 1133
44 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 506
45 Ahmad Yani, Be Excellent, Menjadi Pribadi Terpuji, Al-Qalam, Jakarta, 2007, hlm. 53
46 Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs, Pena, Jakarta, 2006, hlm, 353
47 Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, Terj. Drs. Nasir Yusuf, Pustaka, Bandung, 1985, Hlm. 134
48 Imam al-Qusyairy, Risalaul Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf. Terj. Mohammad Lukman hakiem, Risalah Gusti, cet. 4, 2000, hlm183
49 Ibid., hlm183
50 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, t.th, hlm. 211
51H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 569
52 http://www.dakwatuna.com/2007/sabar-keajaiban-seorang-mukmin/
53 Ahmad Yani, op. cit., hlm. 52
54 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 537
55 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 17
56 Ouys Al-Kharani, Shalat Solution, Medina Center, Semarang, t.th, hlm. 6
57 Muhamad Thalib, 30 Petunjuk Islam Menangani Setres, Gema Risalah Press, Jakarta, 1997 hlm. 47
58 Imam al-Qusyairy, op. cit., hlm. 209
59 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 347
60 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 853
Penulis dan Pengarang : Tgk.Zulfikar.H.Hasby Al'aqila
Komentar
Posting Komentar